Tradisi Pesantren dan Peranannya Menuju Gerbang Peradaban Indonesia
Oleh: Rosikhoh Ma’rifati
Prodi: Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir
Semester: 3
NIM: 2024.01.01.92965
A. Pendahuluan
Hari Santri Nasional merupakan momentum bagi para santri untuk merefleksikan diri, sejauh mana kontribusinya untuk negeri. Dalam perayaannya menjelang 22 Oktober nanti, santri diingatkan kembali akan semangat perjuangan para kiai dalam mengawal Indonesia menuju gerbang kemerdekaan. Menuju sebelas tahun perayaannya, para santri diajak untuk meneruskan perjuangan para pendahulunya. Jika dulu perjuangan para kiai untuk negeri dengan melawan penjajah, kini perjuangan santri bertransformasi dengan melawan kebodohan, kemiskinan, dan kemunduran moral bangsa.
Memaknai kemerdekaan Indonesia tidak hanya berhenti pada perayaan formalitasnya saja, tapi juga bagaimana kedepannya kemerdekaan tersebut direfleksikan melalu perilaku moral dalam berbangsa dan bernegara, serta kontribusinya terhadap peradaban bangsa. Dalam membangun peradaban bangsa, pondasi pertama yang harus dibangun adalah nilai luhur yang terkandung dalam pancasila. Pancasila sebagai asas tunggal bernegara, harus dijadikan sebagai pedoman hidup untuk menghadapi arus globalisasi yang tidak dapat dihindari. Penting sekali penerapan pendidikan pancasila sebagai dasar moral dan spiritual yang kuat untuk bangsa Indonesia.[1]
Belakangan ini, media sosial diramaikan oleh berbagai pemberitaan mengenai pondok pesantren, mulai dari peristiwa runtuhnya musala di Pondok Pesantren Al-Khozini hingga pemberitaan bernuansa framing oleh Trans7 terhadap dunia pesantren. Fenomena ini menimbulkan kontroversi, baik di kalangan pesantren maupun di luar pesantren. Dalam perdebatan tersebut, muncul tuduhan adanya feodalisme dalam lingkungan pesantren, terutama dari kalangan yang dapat disebut sebagai kaum rasio modern, yaitu kelompok yang menilai pesantren dengan standar rasionalitas dan modernitas.
B. Makna Adab dan Adat dalam Tradisi Pesantren
Pesantren dalam tradisinya mejunjung tinggi adab terhadap keilmuan, mereka meyakini bahwa adab merupakan sebuah pondasi utama dalam kelimuan dan spiritualitas. Konsep adab dalam keilmuan menurut Buya Hamka yakni sesorang harus memiliki sikap yang tawadhu’ (rendah hati), serta sikap hormat terhadap guru.
KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya menekankan akan pentingnya menghormati guru dengan menjaga lisan dan perilaku di hadapan guru. Syekh Nawawi al-Bantani juga mendorong seseorang untuk menghormati guru serta memuliakan buku sebagai sumber ilmu. Bisa digarasi bawahi, bahwa ketiga tokoh tersebut menekankan akan pentingnya adab terhadap ilmu, karena ilmu yang tidak didasari dengan adab maka tidak akan mendatangkan keberkahan.[2]
Adat atau kebiasaan yang berlaku di setiap pesantren berbeda-beda, namun ada kesamaan dalam banyak hal, diantaranya penghormatan terhadap kiai atau guru, hidup dalam kemandirian dan kesederhanaa, serta gotong royong atau kebersamaan dalam keseharian hidup. Dengan adat atau kebiasaan yang tidak tertulis inilah, pesantren mampu membentuk karakter santri yang displin, sabar dan rendah hati.
Tradisi pesantren yang lebih mengedepankan sisi adab dan spiritualitas berlandaskan pada suri teladan para sahabat Rasulullah. Para sahabat sendiri mencontohkan bentuk penghormatan kepada Rasulullah dengan mencium tangan bahkan kaki beliau. Banyak riwayat hadis yang menunjukkan praktik tersebut sebagai ekspresi cinta dan penghormatan. Salah satu hadisnya disebutkan dalam Musnad Ahmad, yang berbunyi:
حدَّثنا محمدُ بنُ عيسى، حدَّثنا مَطَرُ بنُ عبدِ الرحمن الأعنقِ، حدَّثتني أُمُ أبان بنتُ الوازع بن زَارعٍ
عن جِدِّها زَارع -وكان في وَفْد عبدِ القَيس- قال: لما قدِمنا المدينةَ، فجعلنا نتبادَرُ مِن رَواحلنا، فنُقبِّلُ يَدَ رسولِ الله صلى الله عليه وسلم ورِجْلَه[3]
Bentuk penghormatan lain dari sahabat ialah menundukkan pandangan di hadapan Rasulullah dan menjaga tutur kata agar tetap sopan. Pola adab ini terefleksi dalam tradisi Pesantren, di mana para santri berperilaku sopan ketika menghadap kiainya, menjaga tutur katanya, bahkan tidak akan berbicara jika tidak memperoleh izin.[4]
Sikap hormat lain yang ditunjukkan santri adalah berjalan sedikit membungkuk di hadapan sang kiai, siapa pun yang pernah menyandang gelar santri, pasti akan merasakan bahwa spontanitas tubuh untuk membungkukkan diri sering terjadi tanpa disadari.[5] Namun kaum rasio modern beranggapan bahwa perilaku tersebut menyerupai rukuk bahkan termasuk kesyirikan karena serupa dengan penyembahan. Perlu dipahami bahwa rukuk dalam beribadah dan tunduk dalam konteks sosial merupakan dua hal yang berbeda. Sekilas memang sulit untuk dibedakan, namun yang menjadi ukuran pembedanya terletak pada niat dari perilaku tersebut.
Para ulama berbeda pendapat mengenai penghormatan dalam bentuk membungkukan badan, ada yang mengatakan haram karena menyerupai ibadah rukuk, ada yang mengatakan makruh karena memahami bahwa hal tersebut merupakan bagian dari tradisi untuk memuliakan orang, ada yang mengatakan boleh karena sudah dicontohkan oleh sahabat nabi. Namun pendapat dari Imam Ghozali bisa dijadikan pertimbangan, bahwa perilaku sosial yang sudah menjadi suatu budaya, selama tidak termasuk kemaksiatan maka sah-sah saja.[6]
Tradisi lain dalam pesantren adalah tabarrukan, mereka meyakini bahwa salah satu cara untuk mencapai ridho guru dan mendapat ilmu yang berkah adalah dengan melakukan tabarrukan. Hal semacam ini sulit dijelaskan dengan logika rasional, Ia merupakan suatu kekuatan atau anugerah yang diberikan tuhan kepada orang-orang saleh atau hamba-Nya yang terpilih, sebagai tanda penghormatan dan kemuliaan[7]
Fenomena tabarukkan juga dipraktekkan kepada para sahabat dengan benda peninggalan Rasulullah, banyak disebutkan dalam riwayat hadis bahwa dulu semasa hidup dengan Rasulullah, mereka tabarukkan dengan sisa makanan dan sisa barang yang dipakai Rasulullah.[8] Perilaku tersebut diyakini, bahwasanya Allah menaruh keberkahan kepada hambanya yang mulia.
C. Kritik Modern terhadap Tradisi Pesantren
Tradisi Pesantren yang sering disorot akhir-akhir ini yakni mengenai adab santri dalam menghormati kiai atau guru. Para kaum rasio modern menganggap bahwa penghormatan fisik yang dilakukan para santri terhadap kiainya adalah bentuk feodalisme atau pengkultusan individu, pengabdian santri terhadap kiainya dianggap sebagai perbudakan, bahkan merupakan sebuah kesyirikan. Mereka hanya melihat kehidupan melalui barometer yang bersifat material, tanpa memandang sisi spiritualnya.[9]
Para kaum rasio modern gagal memahami spiritualisasi dalam praktek adab kepesantrenan. Mereka mengabaikan sisi historis dan teologis yang menjadi landasan perilaku pesantren. Dengan tergesa-gesa mereka menilai pesantren sebagai sistem feodalisme yang dibungkus dengan doktrin keagamaan.
Perlu pemahaman yang mendalam untuk membedakan antara feodalisme dengan adab dan tradisi yang berlaku di pesantren. Dalam sistem feodalisme pengabdian dilakukan berdasarkan keterpaksaan atau tekanan sosial, ekonomi, maupun politik. Sedangkan adab dalam pesantren bentuk pengabdiannya berdasarkan kerelaan dan merupakan wujud penghormatan dari ilmu yang diperoleh.[10]
D. Kontribusi Pesantren bagi Peradaban Bangsa
Pesantren sebagai salah satu subkultur masyarakat memiliki peran penting dalam membangun peradaban bangsa. Melalui tatanan nilai yang terkandung dalam adab, tradisi, dan sistem pendidikannya, pesantren tidak hanya sebagai lembaga pewaris nilai keislaman saja, namun juga sebagai pengawal moralitas bangsa dalam menghadapi arus modernitas yang terus berkembang.[11]
Dengan hadirnya pesantren sebagai agen of change mampu menjadi tempat solusi atas problematika yang dihadapi oleh masyarakat, karena sejak awal pesantren memposisikan dirinya sebagai community learning centre, bahkan sering kali menampilkan peran dan fungsi yang tidak bisa dijangkau oleh negara.[12]
Adab dan tradisi pesantren yang masih lestari hingga kini mampu menumbuhkan nilai keikhlasan, kemandirian, dan kesederhanan. Dengan nilai tersebut, masyarakat mampu membentengi dirinya dari dampak globalisasi yang negative, dan mampu menjadikan bangsa Indonesia yang beradab dan bermoral[13]
E. Kesimpulan
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, telah membuktikan kontribusinya dalam pembentukan moral bangsa. Dengan nilai-nilai luhurnya, mampu mencetak generasi bangsa yang berintegrasi dan berakhlak. Karena pada dasarnya moralitas merupakan pondasi utama yang membawa sebuah bangsa menuju peradaban.
Berita berbentuk framing yang menyudutkan pesantren, tidak hanya menodai martabat pesantren, tapi juga menodai martabat bangsa, yang tonggak berdirinya lahir dari nilai-nilai pesantren. Karena sejak dulu, pesantren telah berkontribusi mengantarkan Indonesia menuju gerbang kemerdekaan, hingga kini pun, santri masih memiliki kiprah yang besar dalam pembangunan dan penegakkan moral bangsa.
Dengan tradisi dan nilai adab yang dimilikinya, mampu menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat dan berdaulat. Momentum Hari Santri menjadi refleksi diri bahwa lemahnya suatu bangsa bermula dari kerusakan moral masyarakatnya. Maka dari itu berpegang pada qoidah al-muḥāfaẓatu ‘alā al-qadīmi wal-jaddu bi al-aṣlaḥ, menjaga yang baik dari tradisi pesantren dan berinovasi dengan mengambil hal baru yang lebih baik.
[1] Muhammad Faiz Zahran, “Pentingnya Pendidikan Pancasila di Tengah Arus Globalisasi bagi Generasi Muda Indonesia”, dalam https://mahasiswaindonesia.id/pentingnya-pendidikan-pancasila-di-tengah-arus-globalisasi/ (diakses pada 20 Oktober 2025).
[2]Ade Rahma Triani dkk, “Konsep Adab dalam Menuntuu Ilmu pada Surah Al-Mujadalah Ayat 11 (Studi Komparatif Tafsir Ulama Nusantara”, Al-Ansor: Jurnal Pendidikan, 1, (Desember 2024).
[3] Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, Jilid 7, (Dār Al-Risalah Al-Alamiyyah, 2009), 5225.
[4] Farihin Fahmi, “Etika Profetik Santri: Resepsi Hadis Pada Tradisi Pendidikan Pesantren”. J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam, (Juni 2023), 9, 120.
[5] Agus Ainul Yaqin dkk, “Budaya Ta’dzim dalam Perspektif Komunikasi Nonverbal” Paradigma Madani: Jurnal Ilmun Sosial, Politik, Agama, (Juni 2022), 9, 6.
[6] Ali Irham, “Legalitas Membungkuk Kepada Guru”, dalam https://lirboyo.net/legalitas-membungkuk-kepada-guru/, (diakses pada 23 Oktober 2025).
[7] Husein Muhammad, Perempuan, Islam, dan Negara, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2022), 23.
[8] Ibid, 123.
[9] Nur Cholis Madjid, “Bilik-Bilki Pesantren, sebuah Potret Perjalanan. (Jakarta: Penerbit Paramadina), 1997.
[10] Adzin Aris Aniq Adani, dalam https://tsaqafah.id/meluruskan-garis-pembeda-antara-adab-dan-feodalisme/, (diakses pada 23 Oktober 2025).
[11] Fathor Rachman, “Menggagas Ideologi Peradaban Modern Melalui Pengembangan Tradisi dan Nilai-Nilai Keadaban Pesantren”, Tadris: Jurnal Pendidikan Islam, (2015), 10, 195.
[12] Ibid, 95.
[13] Ibid, 196.
Daftar Pustaka
Adani, Adzin Aris Aniq. dalam https://tsaqafah.id/meluruskan-garis-pembeda-antara-adab-dan-feodalisme/, (diakses pada 23 Oktober 2025).
Farihin, Hibbi, dan Fahmi. “Etika Profetik Santri: Resepsi Hadis Pada Tradisi Pendidikan Pesantren”. J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2023.
Irham, Ali. “Legalitas Membungkuk Kepada Guru”, dalam https://lirboyo.net/legalitas-membungkuk-kepada-guru/, (diakses pada 23 Oktober 2025).
Madjid, Nurcholish. Bilik-bilik Pesantren, sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997.
Muhammad, Husein. Perempuan, Islam, dan Negara, Yogyakarta: IRCiSoD, 2022.
Rachman, Fathor. “Menggagas Ideologi Peradaban Modern Melalui Pengembangan Tradisi dan Nilai-Nilai Keadaban Pesantren”, Tadris: Jurnal Pendidikan Islam, 2015.
Sulaiman, Abu Dawud. “Sunan Abi Dawud”, Jilid 7, (Dār Al-Risalah Al-Alamiyyah, 2009), 5225.
Triani, Ade Rahman, dkk, “Konsep Adab dalam Menuntuu Ilmu pada Surah Al-Mujadalah Ayat 11 (Studi Komparatif Tafsir Ulama Nusantara)”, Al-Ansor: Jurnal Pendidikan, 2024.
Yaqin, Agus Ainul, dkk. “Budaya Ta’dzim dalam Perspektif Komunikasi Nonverbal” Paradigma Madani: Jurnal Ilmun Sosial, Politik, Agama, Juni 2022.
Zahran, Muhammad Faiz. “Pentingnya Pendidikan Pancasila di Tengah Arus Globalisasi bagi Generasi Muda Indonesia”, dalam https://mahasiswaindonesia.id/pentingnya-pendidikan-pancasila-di-tengah-arus-globalisasi/ (diakses pada 20 Oktober 2025).
