Gerakan Ekoteologi Pesantren: Dari Santri Untuk Dunia
Oleh: Fiki Ismatul Karimah (PGMI, Semester 5)
“Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia”, menjadi tema perayaan Hari Santri Nasional 2025. Sebuah tema yang tentu bukan sekadar untuk merayakan hari bersejarah saja, tetapi juga refleksi atas apa yang telah, masih, dan akan dikontribusikan santri untuk Indonesia dan dunia. Semangat perjuangan yang telah diwariskan sejak masa penjajahan sampai sekarang, misalnya, sudah cukup menjadi bukti kontribusi yang telah dan masih santri lakukan dalam mengisi kemerdekaan. Hanya saja, kontribusi tersebut juga tak seharusnya digaungkan terus-menerus hingga akhirnya terjebak pada apa yg disebut “romantisme masa lalu”.
Sejauh kita mengikuti euforia perayaan hari santri tahun ini, tidak banyak dari kalangan santri sendiri yang berusaha keluar dari zona romantisme masa lalu tersebut. Padahal kita tahu, santri hari ini mengemban tugas yang bahkan bisa dikatakan jauh lebih berat dari mengusir penjajah. Santri hari ini dituntut menjadi generasi tangguh menghadapi tantangan-tantangan global, alih-alih menjadi pelopor untuk menciptakan peradaban baru. Peradaban yang tentunya berbasis nilai dan inovasi pesantren, sekaligus sejalan dengan visi dunia modern.
Sejauh kita amati, dunia modern selalu berfokus pada isu-isu pemberdayaan, pembangunan, dan persoalan-persoalan krusial yang menyangkut keberlangsungan hidup. Fokus ini setidaknya bisa dilihat dari tujuh belas tema yang masuk pada program Sustainable Development Goals (SDGs) yang diinisiasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2015 dalam mengatasi tantangan global. Di antara sekian tema SDGs tersebut, persoalan dan krisis lingkungan menjadi salah satunya.
Berbicara lingkungan, tidak ada yang bisa menyangkal bahwa krisis lingkungan masih menjadi satu hal yang sampai detik ini belum bisa diatasi secara efektif. Bencana ekologis yang terjadi di mana-mana menjadi kenyataan pahit yang harus diterima dan diakui. Kenyataan ini dikuatkan dengan adanya data-data terbaru, salah satunya seperti yang disampaikan Wakil Kepala Badan Pengendalian Lingkungan, Diaz Hendopriyono, bahwa Indonesia memproduksi sekitar 56,63 juta ton sampah pertahun.[1]
Sampah plastik menjadi yang terparah, bahkan menurut data terbaru National Plastic Action Partnership (NPAP) menunjukkan aliran sampah plastik ke lautan Indonesia diproyeksikan akan meningkat 30% menjadi sekitar 800.000 ton pada tahun 2025.[2] Kenyataan ini menjadi boomerang tersendiri, di saat Indonesia berperan dalam negosiasi penyusunan Global Plastic Treaty UNEA 2022 yang ditargetkan rampung 2025. Penyusunan Global Plastic Treaty ini bertujuan mengikat secara hukum untuk mengakhiri sampah plastik, dengan berbagai pendekatan terstruktur dan kebijakan nasional.
Ekoteologi dan Tantangan Pesantren
Ekoteologi merupakan sebuah konsep yang memadukan aspek wawasan keimanan dengan pelestarian lingkungan. Dalam agama Islam sendiri, konsep ini selaras dengan apa yang tertera dalam Surah Hūd ayat 61 sebagai berikut:
وَاِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًا ۘ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗهُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا فَاسْتَغْفِرُوْهُ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ ۗاِنَّ رَبِّيْ قَرِيْبٌ مُّجِيْبٌ[3]
“Kepada (kaum) Samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya. Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat lagi Maha Memperkenankan (doa hamba-Nya).”
Ayat di atas menjelaskan posisi manusia sebagai khalīfah fī al-arḍ yang mengemban tugas untuk merawat dan menjaga bumi dengan baik. Bahkan, ayat tersebut “menyandingkan” tentang penjelasan kedudukan manusia sebagai pelaku pelestarian lingkungan dengan perintah menyembah Allah. Hal ini menunjukkan bahwa melestarikan lingkungan menjadi suatu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan bagi setiap muslim, sebagaimana kewajiban menyembah Tuhan itu sendiri.
Konsep ekoteologi semakin populer dewasa ini, terlebih ketika Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) sendiri menjadikan ekoteologi sebagai program unggulan di 2025-2029. Di bawah menteri agama Nasaruddin Umar, Kemenag berusaha menjadi garda terdepan dalam mewujudkan langkah konkret merawat ekosistem bumi. Langkah konkret tersebut setidaknya tercermin dari keseriusan menggandeng berbagai pihak, mulai institusi keagamaan, pesantren, masyarakat umum, hingga tak tanggung mengeluarkan kebijakan khusus yang mewajibkan para ASN-nya untuk turut menyukseskan penanaman satu juta pohon.
Selain itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, selain menjadi salah satu institusi yang digandeng Kemenag, tentu harus bisa menjadi role model tersendiri dari sekadar penanaman satu juta pohon. Dengan kata lain, persoalan krisis lingkungan yang kompleks harus bisa dilihat dari kacamata yang jauh lebih kompleks pula. Itu artinya, pesantren—dalam hal ini juga santri, dituntut bisa satu langkah lebih maju untuk persoalan lingkungan yang tidak hanya seputar persoalan deforestasi dan reboisasi semata. Hanya saja pertanyannya, dengan inovasi dan strategi apa?
Ekoteologi Pesantren
Sejauh kita amati, dunia pesantren sebetulnya tidak kekurangan bekal pengetahuan tentang sejauh mana pentingnya menjaga dan merawat bumi. Konsep ekoteologi yang digalakkan oleh Kemenag misalnya, bukan menjadi hal baru dalam dunia pesantren. Dengan kecakapannya membaca kitab warisan ulama (turats), misalnya, santri sejak awal sudah dikenalkan dengan konsep merawat alam dengan basis dan nilai agama (ekoteologi). Nilai-nilai ini sangat mudah ditemukan dalam kitab bahan ajar di pesantren, di antaranya tafsir, tasawuf, fikih dan lain-lain. Dalam aspek pengajaran fikih, misalnya, mazhab Maliki dalam hal wudu yang lebih mengedepankan penggunaan air yang hemat. Bukan karena pelit air, tetapi lebih pada pengajaran akan kesederhanaan dan efisiensi sumber daya. Pengajaran inilah yang menurut Fakih Abdul Azis mengandung nilai-nilai eco-fiqh atau fikih ramah lingkungan.[4]
Sebab itu, sekali lagi, merawat alam (ekologi) dan menjaga bumi berbasis nilai agama (ekoteologi) bukanlah hal baru dalam dunia pesantren. Pesantren, santri, atau umat Islam secara umum sudah mempunyai kerangka etika ekologis jauh sebelum istilah green living digalakkan Barat dan dikampanyekan dunia lewat SDGs: Responsible Consumption and Production (Tujuan 12 United Nation). Maka dari itu, sangat disayangkan jika kajian ekologi dan ekoteologi yang secara prinsip sudah mapan tersebut hanya bisa berkutat di ranah teoritis, termasuk di pesantren.
Atas dasar itu, banyak pesantren di Indonesia yang berusaha untuk memberikan langkah konkret. Salah satunya bisa dilihat di banyak pesantren yang sudah bisa mengadaptasi teknik dan pengelolaan sampah secara mandiri. Salah satu yang bisa dijadikan example adalah Pondok Pesantren Al-Anwar 3 Sarang Jawa Tengah. Melalui Pusat Pengelolaan Sampah (PPS), Al-Anwar 3 mencoba menerapkan konsep ekoteologi tidak hanya di ranah teoritis saja, tetapi juga pada hal-hal yang sifatnya praktis baik di dunia nyata maupun dunia maya. Di dunia nyata, PPS Al-Anwar 3 terbukti berhasil dalam mengelola sampah organik dan anorganik. Di antara teknik pengelolaan sampah yakni dilakukan dengan bantuan lalat dan manggot berjenis black sordier fly (BSF) untuk membantu penguraian sampah organik menjadi bahan pupuk. Sedangkan untuk teknik pengelolaan sampah anorganik, PPS Al-Anwar 3 menggunakan prinsip 3R yaitu reduce, reuse, dan recycle, hingga akhirnya menghasilkan paving.
Teknik pengelolaan sampah PPS Al-Anwar 3 di atas merupakan teknik pengelolaan yang juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pengelola sampah di dunia nasional maupun internasional. Atas dasar itu, kenyataan tersebut semakin menunjukkan bahwa pesantren hari ini sebetulnya mampu untuk ikut andil dalam persoalan-persoalan global, termasuk dalam penanganan seputar lingkungan atau sampah.
Namun, ada satu hal menarik dari langkah praktis atau strategi yang dilakukan PPS Al-Anwar 3 yaitu pemanfaatan media sosial (Instagram/TikTok: @pps_alanwar3) sebagai bentuk digitalisasi praktik pelestarian lingkungan, termasuk tentang bagaimana tatacara mengelola sampah organik dan anorganik. Strategi dari pemanfaatan media sosial inilah yang menurut penulis menjadi realitas baru yang bisa dilihat oleh dunia bahwa pesantren tidak hanya pintar merawat tradisi, tetapi juga bisa menjadi lembaga yang arif dengan kebutuhan zaman. Realitas baru pesantren inilah yang “barangkali” disebut—meminjam istilah atau teori Peter L. Berger dan Thomas Luckmann—sebagai “konstruksi sosial” yang terdiri dari proses atau tahapan dialektis berupa eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi.
Eksternalisasi dalam gerakan digitalisasi ekoteologi pesantren dalam konteks PPS Al-Anwar 3 terjadi mempublikasikan kegiatan pelestarian lingkungan di media sosial. Unggahan media sosial tersebut tentu akan menjadi realitas objektif yang dihadapi dan ditanggapi oleh netizen atau santri lainnya. Hasil publikasi kegiatan pelestarian lingkungan tersebut lalu diinternalisasi oleh penonton sehingga memicu lahirnya kegiatan serupa dari pesantren lain atau bahkan dari masyarakat umum. Semoga. Wallahu A’lam
[1] https://kemenlh.go.id/news/detail/wamen-lh-tutup-hlh-sedunia-2025-serukan-aksi-nyata-atasi-polusi-plastik-dan-krisis-sampah (Diakses 24 Oktober 2025).
[2] Septian Deny, https://www.liputan6.com/bisnis/read/5961492/800-ribu-ton-sampah-plastik-diproyeksi-mengalir-ke-laut-indonesia-di-2025-ada-solusi (Diakses 25 Oktober 2025).
[3] Al-Qur’an, Hūd [7]: 61.
[4] Faqih Abdul Azis melalui postingan akun Instagramnya (@faqihaaz).
