Ada sebuah riwayat yang menceritakan bahwa kelak, ketika para Ashabul Kahfi itu dimasukkan ke surga, maka Qitmir akan berkata kepada mereka, “Wahai para penghuni gua! Dulu saya selalu menemanimu dalam perjalanan itu, tetapi kini engkau masuk surga dan meninggalkanku sendiri. “Para Ashabul Kahfi itu kemudian berdoa agar Allah SWT juga berkenan memasukkan Qitmir ke surga bersama mereka. Doa mereka dikabulkan, Qitmir, anjing yang diberkahi, itu pun masuk surga dan tinggal selama-lamanya di dalamnya.”

            Subhanallah, seekor anjing dapat masuk ke dalam surga hanya karena mengikuti orang-orang saleh yang melarikan diri dari kejaran Raja Dikyanus, raja dzolim pada masa ratusan tahun sebelum di utusnya nabi Isa As.

            Dari riwayat tersebut dapat diambil hikmah yang sangat besar. Mari kita menganalisis bersama teladan dari hal tersebut. Anjing yang merupakan seekor hewan najis mugholadzoh, bukan hanya liurnya, akan tetapi seluruh anggota tubuhnya. Malaikat-pun tak mau bertempat dimana tempat itu terdapat anjingnya. Dia mendapatkan kemuliaan masuk surga hanya disebabkan mengikuti orang shaleh yang menghindar dari kejaran Dikyanus, raja dzalim.

            Lalu, bagaimana dengan kita yang merupakan makhluk paling sempurna, allahpun telah berfirman “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan dilautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (QS. Al Isra’ : 70). Menurut Fathuddin Ja’far, MA dalam bukunya Sei Empowernment Road to the Great Success dikatakan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling mulia dibandingkan  dengan makhluk lainnya seperti Malaikat, Iblis, Hewan, dsb. Kemuliaan tersebut  bukan karena subyektivitas Tuhan atas segala makhluk-Nya, tetapi berdasarkan standar ilmiyah, yaitu penciptaan yang sangat sempurna baik non fisik maupun fisiknya seperti akal, hati, tanpa kehilangan syahwat dan nafsunya. Begitu juga gerak tubuhnya  yang demikian indah dan dinamis.

            Bukankah kita tidak mustahil akan masuk surga, bahkan surga yang lebih tinggi dari qhitmir jika kita mengikuti makhluk paling utama dari ciptaan allah yang paling sempurna, yaitu nabi muhammad SAW., yang allah mengatakan tentang beliau,

 لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS.33, Al-Ahzaab:21)

 Beliau bukan hanya orang yang shaleh saja, akan tetapi orang yang ma’sum yang hanya kepadanyalah al-qur’an diturunkan, agama tauhid disempurnakan, gelar Ulul Azmi disandangkan, dan isra’ mi’raj di hadiahkan.

            Waktu selalu mengiringi perjalanan manusia. begitu juga dengan umat Islam, yang kini telah menempuh perjalanan yang teramat panjang. hari demi hari, hari berganti bulan, dan bulan berganti tahun, jarak antara nabi muhammad SAW. terpaut begitu jauh. Sehingga, kualitas zaman itu dengan zaman sekarang sungguh berbeda.

            Kemudian muncul pertanyaan, “jika nabi muhammad wafat, lalu kita harus mengikuti siapa?”. Pantaskah kita bertanya begitu, sedangkan nabipun bersabda,

 الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ

Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu)

             Bagaimana logikanya, kita akan tersesat dari ajaran nabi muhammad SAW., jika kita mengikuti para ulama’. Sedangkan para ulama’ itu mengikuti para ulama’ sebelumnya, ulama’ sebelumnya pun mengikuti ulama’ sebelumnya pula, dan seterusnya. Sebuah keterkaitan yang berujung pada sahabat, bintang-bintangnya nabi muhammad SAW.

            Beliau menyebutkan para ulama sebagai warisan Nabi Muhammad SAW., itu menandakan bahwa para ulama adalah sesuatu yang sangat berharga bagi beliau. Warisan adalah barang berharga yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia kepada orang-orang yang masih hidup sepeninggalnya. Karena sangat berharganya, sampai-sampai sering terjadi pertumpahan darah ataupun pertengkaran di antara ahli waris untuk memperebutkan warisan tersebut.

            Jika kita mengikuti ulama’ yang bersambung hingga nabi, semestinya kita akan menuju jalan yang dijanjikan allah SWT.. Sebaliknya, jika kita mengikuti seorang yang mengaku sebagai ulama’, yang ajaranya tidak bersambung dengan nabi, bahkan hingga bertentangan, sudah dapat dipastikan bahwa ajaran yang dibawa ulama’ gadungan itu sebagai kebohongan belaka.

            Modern ini, banyak sekali ditemukan ulama’ gadungan yang menggembor-gemborkan jargon “kembali ke al-Qur’an”. Mereka kira, para ulama’ terdahulu membuat sebuah hukum tidak bersumber dari al-Qur’an?. Sedangkan para ulama’ gadungan yang salah satu syarat untuk menjadi mujtahidpun tidak terpenuhi, dengan seenaknya menafsirkan ayat al-َََQur’an. Sebuah kebodohan yang sangat nyata!

            Para ulama kuno menganaloginya al-Qur’an diibaratkan sebagai benih padi, hukum fiqih sebagai nasi, dan para mujtahid sebagai petani/pengolah, sedangkan kita (orang awam) sebagai anak kecil. Sebuah benih padi akan menjadi nasi jika melalui tangan para petani/pengolah yang berpengalaman dan mengetahui tata cara merawat/mengolahnya, sehingga benih padi dapat menjadi nasi. Tugas kita hanya memakan nasi yang telah diolah petani/pengolah. Apakah mungkin anak yang masih kecil, yang hanya bertugas sebagai konsumen dapat mengolah sendiri sebuah benih padi hingga menjadi nasi.

            Oleh karena itu, jadikan pada hidup kita seorang penunjuk jalan, penunjuk jalan yang mengikuti petunjuk jalan hakiki, nabi muhammad SAW.. Untuk menggapai jalan yang dapat menghantarkan kebahagiaan abadi. Bukan sekedar penunjuk jalan yang dapat menuntun anda berjalan, tanpa tahu arah tujuan. wallahu a’lam,…

Oleh : Azis Bahtiar Sofyan
Mahasiswa Semester III Ilmu Alqur’an dan Tafsir