
Ujung Pena– Di tengah pro-kontra yang akan diterapkan oleh Kemendikbud, yakni Full Day School awal semester kemaren, sejatinya ada lembaga pendidikan yang jauh lebih dari sekedar yang namanya Full Day School.
Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan di pesantren meliputi pendidikan Islam, dakwah, pengembangan kemasyarakatan dan pendidikan lainnya yang sejenis. Para peserta didik di pesantren disebut santri yang umumnya menetap di pesantren. Tempat dimana para santri menetap, di lingkungan pesantren, disebut dengan istilah pondok. Dari sinilah timbul istilah pondok pesantren. (Pondok Pesantren dan madrasah Diniyah, 2003;1)
Menurut Zamakhsari Dhofier (Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai, LP3S, 1986;18), pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang mempunyai lima unsur yaitu; Kyai, masjid, santri, pondok dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Salah satu unsur terpentingnya adalah Kyai, karena kepemimpinannya yang kharismatik dan kemampuan agamanya yang mendalam. Oleh karena itu, dalam konteks pendidikan masyarakat dan perubahan sosial, sosok Kyai selalu menjadi sumber inspirasi dan penyaring segala unsur-unsur baru (discovery and inovation) pembawa perubahan yang akan memasuki masyarakat (culture broker).
Dari beberapa pendapat di atas tidak dijumpai perbedaan dengan kata lain pandangan tokoh-tokoh terhadap pondok pesantren memiliki kesamaan yang mana persamaan ini merujuk pada pendidikan agama Islam yang berciri khas pengajian kitab kuning, pengajian syariat Islam, dan ilmu agama.
Pondok pesantren memiliki karakteristik yang pada umumnya memiliki tempat-tempat belajar yang saling berdekatan sehingga memudahkan para santri untuk melangsungkan proses pembelajaran. Di antara tempat itu berupa madrasah sebagai tempat pembelajaran, asrama atau pondok sebagai tempat tinggal santri, masjid sebagai tempat beribadah para penghuni pesantren dan juga sebagai pusat pembelajaran santri, perpustakaan sebagai tempat peminjaman berbagai kitab dan buku-buku pelajaran, rumah tempat tinggal kyai, ustadz dan ustadzah, dapur umum yang digunakan sebagai tempat memasak untuk para santri, dan tempat pemandian para santri.
Sistem pendidikan pondok pesantren dapat diartikan serangkaian komponen pendidikan dan pengajaran yang saling berkaitan yang menunjang pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh pondok pesantren.
Pondok pesantren tidak mempunyai rumusan yang baku tentang sistem pendidikan yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi semua pendidikan di pondok pesantren. Hal ini disebabkan karakteristik pondok pesantren sangat bersifat personal dan sangat tergantung pada Kyai. Pondok pesantren mempunyai tujuan keagamaan, sesuai dengan pribadi dari Kyai. Sedangkan metode mengajar dan kitab yang diajarkan kepada santri ditentukan sejauh mana kualitas ilmu pengetahuan Kyai dan dipraktekkan sehari-hari dalam kehidupan. Kebiasaan mendirikan pondok pesantren dipengaruhi oleh pengalaman pribadi Kyai semasa belajar di pondok pesantren.
Dalam pemahaman klasik, pendidikan pesantren bertujuan mendidik supaya santri menguasai ilmu agama Islam secara mendalam agar selamat dikehidupan dunia dan akhirat. Akan tetapi, di era modern sekarang ini, pesantren sudah dikelola lebih profesional, manajemen modern dan pandangan hidup futuristik. Selain menyediakan gurun atau ustad yang lulus dari pendidikan pesantren, mereka juga menyediakan para guru yang lulus dari perguruan tinggi. Tidak hanya sekedar menyandang gelar sarjana tetapi juga menyandang gelar master pendidikan dan doktor.
Dengan demikian, maka pesantren sudah menjadi salah satu lembaga pendidikan masa depan di Indonesia setelah sekolah umum. Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi dan tuntutan masyarakat (ummat), maka kurikulum pendidikan pesantren juga dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman tanpa harus melunturkan unsur-unsur nilai tradisionalnya.
Pesantren zaman sekarang tidak hanya mempelajari ilmu agama semata (dengan rujukan kitab kuning atau klasik) tetapi sudah mengintegrasikan materi agama dengan pelajaran umum yang berbasis sains dan teknologi. Sehingga lahirlah pondok pesantren modern di berbagai wilayah Indonesia. Dengan demikian, maka pesantren sudah mampu mengapus image yang melekat dalam dirinya sebagai “lembaga pendidikan jadul”, tetapi sudah menjadi salah satu tempat pilihan utama orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Sebab orang tua berharap anak-anaknya akan pandai secara holistik (pandai ilmu agama, sians, dan teknologi) sehingga nantinya akan manusia yang sempurna (al-Insan al-Kamil) dan selamat dunia-akheratnya.
Pesantren sekarang sudah dipercaya oleh masyarakat (ummat) menjadi lembaga yang mampu berperan menjalankan pendidikan moral, akademik, skill, dan psikoterapi bagi para remaja yang terjerumus menggunakan obat-obat terlarang. Karena remaja yang ketergantungan pada obat-obat terlarang tidak cukup hanya berobat secara medis, tetapi juga harus berobat secara mental.
Di sinilah peran Kyai sebagai “dokter mental” sangat dibutuhkan oleh mereka. Sehingga Pesantren dan Kyai sebagai pemimpinnya, menjadi lembaga terdepan dalam pembangunan moral, ahlak, dan mental generasi bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, Antropolog Clifford Gertz membagi peran Kyai dalam mendidik ummat menjadi dua hal; Pertama, Kyai sebagai tokoh sentral dalam perubahan sosial (agent of change) di masyarakat. Sehingga Kyai harus mengarahkan ummatnya kepada perubahan zaman yang positif dan membangun, serta mengoreksi dan memperbaiki ummat apabila perubahan sosial yang terjadi mengarah kepada hal yang negatif dan merusak. Kedua, Kyai sebagai pemimpin ummat berfungsi sebagai penyaring (filter) terhadap pengaruh dan perubahan kebudayaan secara global (culture broker). Apabila pengaruh dan perubahan kebudayaan asing dalam masyarakat mengarah kepada kemudharatan, maka Kyai wajib untuk menyeru ummatnya agar tidak mengikutinya.
Kedua peran penting Kyai tersebut kemudian secara kontinyu didukung dan dilaksanakan oleh para santri baik di dalam maupun di luar pesantren bersama masyarakat. Sehingga dalam konteks pendidikan pesantren modern sekarang ini, peranan tersebut oleh masyarakat disebut sebagai Santri Partisipatoris. Kita semua berusaha dan berdo’a agar generasi muda kita sekarang adalah generasi yang cakap, cerdas, bermoral, berahlak mulia dan mempunyai integritas yang tinggi dalam pembangunan nasional.
SEJARAH PESANTREN
Beberapa sumber tidak menyebutkan secara gamblang tentang kemunculan pesantren di Indonesia. Namun demikian, dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) pada tahun 1984-1985 diperoleh informasi bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah Pesantren Jan Tanpes II di Pamekasan Madura, yang didirikan pada tahun 1062. Informasi ini dibantah oleh Mastuhu dengan alasan bahwa sebelum adanya Pesantren Jan Tanpes II, tentunya ada Pesantren Jan Tampes I yang lebih tua, dan dalam buku Kementerian Agama tersebut banyak dicantumkan pesantren tanpa tahun pendiriannya. Jadi, mungkin mereka memiliki usia yang lebih tua. Selain itu, Mastuhu menduga bahwa pesantren didirikan setelah Islam masuk ke Indonesia.
Temuan Departemen Agama tentang keberadaan pesantren tertua di Indonesia di atas juga ditolak oleh Martin van Bruinessen. Menurut Bruinessen, Pesantren Tegalsari (salah satu desa di Ponorogo, Jawa Timur) merupakan pesantren tertua di Indonesia yang didirikan pada tahun 1742 M. Sepanjang penelitiannya, Bruinessen tidak menemukan bukti yang jelas adanya pesantren (pada abad ke-19) sebelum berdirinya pesantren Tegalsari. Bahkan, sebelum abad ke-20 belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi, dan Lombok. Pada umumnya, pada tahun-tahun sebelum abad ke-20, kegiatan pendidikan Islam di Jawa, Banten, dan luar Jawa masih berbentuk informal dengan pusat kegiatannya di masjid.
Terlepas dari perdebatan panjang dan berliku tentang asal-usul kemunculan pesantren, pada sisi yang lain pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam semakin dirasakan keberadaannya oleh masyarakat secara luas, sehingga kemunculan pesantren di tengah-tengah masyarakat selalu direspon positif oleh masyarakat. (MR)
Oleh : Fahrur Razi
Mahasiswa semester III Ilmu Alqur’an dan Tafsir