
Oleh: Fahrur Razi *)
Bulan Desember merupakan bulan spesial bagi mereka yang beragama Nasrani, di mana pada bulan itu merupakan hari besar mereka, hari Natal. Akan ada banyak tulisan yang akan terpampang dan terdengar di telinga kita, “Merry Christmas”, atau yang artinya Selamat Hari Natal. Lazimnya, momen ini disandingkan dengan ucapan Selamat Tahun Baru.
Ucapan semacam itu menurut sebagian orang tidak bermasalah, apalagi bagi mereka orang-orang kafir. Namun hal ini menjadi masalah besar, ketika yang mengucapkan ucapan itu adalah seorang muslim terhadap perayaan orang-orang kafir. Bukan hanya ucapan Selamat Hari Natal, pada bulan Desember juga ada permasalahan lain yang sering berulang. Seperti, seorang muslim memakai atribut Natal karena “dipaksa” oleh perusahaan tempat ia bekerja dan menghadiri perayaan Natal.
Hal itu tentu bukanlah sesuatu yang lumrah, karena penggunaan atribut agama lain bagi umat Islam merupakan suatu keharaman, baik karena adanya paksaan ataupun sukarela. Begitupun dengan mengucapkan dan ikut andil dalam perayaannya juga haram. Jika umat Islam abai terhadap keharaman tersebut, maka akidah keIslamannya yang menjadi taruhan.
Sebagian mereka (orang Islam) ada yang berpendapat nyeleneh sebagaimana pendapatnya orang-orang kafir, dengan dalih toleransi. Apakah ini yang namanya toleransi? Bukan toleransi namanya jika akidah tergadaikan. Karena toleransi yang benar adalah untukmu agamamu dan untukku agamaku. Bukan berarti menceburkan diri ke dalam ritual agama lain atas nama menghormati persahabatan, perbedaan, dan alasan lain yang dibuat-buat. Bentuk toleransi bias juga membiarkan mereka berhari raya tanpa turut serta dalam acara mereka, termasuk tidak perlu ada ucapan selamat.
Nabi Muhammad saw., bersabda,
اَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ
“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167). Ucapan selamat natal termasuk di dalam larangan hadits ini.
“Ah, tapi kan Cuma atributnya saja, yang penting hatinya tetap mengingkari kebenaran agama lain. Ah, kan Cuma ngucapin aja, ga mengakui agama mereka, gak masalah kalii.” Alasan ini kerap kali muncul dari lisan seseorang yang mengaku Muslim. Sayangnya pernyataannya sama sekali tak dapat dibenarkan. Haram hukumnya menyerupai orang kafir meski sekedar atribut lahiriah. Ibn Taimiyah dalam kitab Majmu’ al-Fatawa berkata,
أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ
“Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 154).
Penerapan sistem sekuler di negeri ini telah berhasil menggerus perlahan-lahan akidah umat Islam dengan cara yang teramat halus. Seorang muslim hendaknya berIslam secara kaffah, memurnikan akidah hingga layak dikatakan sebagai muslim sejati, bukan sekedar Islam KTP.
Perkara yang remeh temeh bisa menjadi perkara besar jika tidak mengetahuinya. Meskipun ucapan selamat hanyalah sebuah ucapan ringan, namun menjadi masalah berat dalam akidah. Terlebih jika ada di antara kaum muslimin yang membantu perayaan Natal. Misalnya dengan membantu menyebarkan ucapan selamat hari Natal, bisa berupa spanduk, baliho, atau yang lebih parah lagi memakai pakaian khas acara Natal.
Allah berfirman dalam surah al-Maidah ayat 2,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah; 2)
*) Ketua LPM 2018-2019 mahasiswa IQT Semester V A