Rembang, narasigp—Suasana ruang baca putri siang ini tampak berbeda, pasalnya disana terdapat acara Simposium Nasionalisme Dan Kebangsaan Dalam Kehidupan Bernegara yang mengambil tema “Studi Konflik Disintegrasi Yaman.” Acara diadakan oleh Resimen Mahasiswa (MENWA) STAI Al-Anwar dan komensariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesis (PMII). Pembicara dalam simposium umum ini adalah Bardan, Pasi inteldim 0720/RBG dan Sa’dun Daaim yang merupakan seorang yang penah berdomisili di Yaman selama beberapa tahun. (4/12)
Bardan yang bertindak sebagai pemateri dalam acara ini menjelaskan bahwa zaman sekarang ini sudah terjadi perang, perang saat ini tidak bersifat konvensional namun dampaknya sangat dalam sekali, ia dikendalikan oleh pihak ketiga sehingga tidak terlihat. Perang seperti ini disebut proxy war, dan menjadikan integritas negara sebagai sasaran utama.
“Masalah yang timbul dari proxy war ada pada edeologi kita, kita dituntut untuk nasionaliasme namun disisi lain radikalisme terus menghantui kita. Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai generasi muda? Pada tahun 2045 Indonesia digadang-gadang sebagai negara emas. Namun apakah itu akan terwujud? atau justru akan menjadi INDONESIA CEMAS bukan INDONESIA EMAS. Masa depan Indonesia tergantung pada sampean (kalian) semua. ” ungkap Bardan.
Hal yang serupa juga disampaikan Muhammad asif (Red: Perwakilan STAI Al-Anwar) dalam sambutannya menyampaikan bahwa saat ini ada kelompok-kelompok yang ingin mengubah sistem dan bentuk sebuah negara secara radikal dan kadang dengan kekerasan. Tidak hanya itu, ada juga kelompok-kelompok yang secara halus melakukan aksinya yang biasa disebut dengan soft radicalism bergerak dengan cara non failen extremism.
Usai penyampaian materi oleh Bardan, acara dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh Sa’dun Daaim. Dalam penyampaiannya beliau memaparkan bahwa disintegrasi merupakan keadaan tidak bersatu padu yang menghilangkan keutuhan dan persatuan serta menyebabkan perpecahan. Sedangkan nasionalisme secara garis besar adalah perasaan ikut memiliki.
Selain itu beliau juga menjelaskan sedikit banyak terkait situasi dan kondisi negara Yaman. “Perang sipil praktis terjadi sejak Maret 2015 sampai sekarang. Sepuluh ribu nyawa melayang dan setengah diantaranya adalah anak-anak. Tiga belas juta orang terancam kelaparan menurut data terbaru bulann Agustus 2018. PBB mencatat bahwa 100 tahun terakhir ini adalah kasus terburuk yang dialami oleh yaman. Yaman tidak pernah harmonis, bahkan sebuah kelompok lebih mementingkan kepentingan kelompoknya sendiri daripada kepentingan negara. Presiden Yaman Abdurrobuh Mansur sendiri mengalami pemberontakan dari dalam sehingga ia meminta bantuan ke arab Saudi.” Jelasnya.
Selama berjalannya materi, audience tampak memperhatikan dengan saksama, hal ini dapat dilihat pada saat sesi tanya jawab. Terdapat 4 mahasiswa yang melontarkan pertanyaan kepada narasumber. Acara berakhir pukul 14.30 dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh Sa’dun. (Wcf)